Cerpen - Air Mata Sang Perwiri

Air Mata Sang Perwiri

Oleh: Orie

Tak dapat ku tahan dan tak akan ku hentikan tangisku ketika bersua kembali dengan sentuhan kerut kulit yang ku rindukan. Kerut kulit kehidupan. Sejuknya jiwa ini ketika perut tangannya menyentuh dan jari kurusnya mengacaukan rambut hitamku.

Menangiskah ia ketika itu, mengalirkah airmatanya mengairi kerut wajah yang menganak sungai di pipinya? Berdosanya aku, apakah tak pernah kusadari bahwa wanita tua itu adalah ibuku. Ia yang menjerit kesakitan, ia gigit b agar aku dapat hidup dunia. Jeritan itulah yang mendahului tangisanku ketika aku muncul di sini.Aku tak pernah sadar kapan ia tersenyum dan kapan ia kutangiskan kembali. Ibuku memang wanita ceria yang tak kupedulikan ibanya. Aku adalah duri yang ikut tumbuh di tengah rumput hijau nan subur yang ditumbuhkan tanahnya.

Aku peluk kakinya semakin kuat. Kaki yang dipakaikan sepatu itali yang ku kirimkan beberapa tahun yang lalu. Sungguh tak kusangka sebelumnya. Sepatu itu tidak cocok untuknya. Kontras sekali dengan kakinya yang hitam keriput. Aku ciumi kain batik, kodek ibu. Aku menangis sejadi-jadinya. Apakah dunia akan turut bersedih ataukah menertawai dan mengejek memarahiku? Aku tak tahu. Yang ku tahu hanyalah sampai saat ini tak ada yang ku lakukan untuk membantu ibu? Aku sadar walau kami saling mencintai, kami ternyata memiliki dunia yang benar-benar berbeda.

Ibu sejak kecil telah diperlihatkan dengan kerasnya hidup oleh nenek. Mereka, anak-anak nenek, harus bekerja untuk membiayai sekolah sendiri-sendiri. Wajar saja, karena nenek adalah janda yang ditinggali banyak anak oleh suaminya.

Pulang sekolah bocah berumur tujuh tahun itu pergi ke kebun pisang di pinggiran desa. Dengan penuh semangat, anak kecil itu menginjik, menjuluk, mengait dan tak jarang memanjat untuk menjatuhkan daun-daun pisang yang masih muda atau daun pisang yang masih menggulung dan hijau muda. Anak kecil itu sangat teliti dan cekatan memilih daun pisang mana yang dapat dijadikan pembungkus makanan. Hanya pisang-pisang tertentu saja yang daunnya dapat dijual sebagai pembungkus. Tiap sore sepulang sekolah ia melakukan pekerjaan rutinnya itu. Tidak ada yang tahu, kapan ia menangis sendiri karena takut teriakan petir tatkala hujan. Memeluk gulungan daun pisangnya. Atau, ketika jari mungilnya luka, ditoreh pisau yang dibawanya. Ia mengulum jari itu di sela tangisnya. Lari dan mencari daun obat untuk mengobati lukanya. Sendiri tanpa seorang pun yang mau membantu.

Bocah itu tak pernah tahu permainan apa yang sedang musim dimainkan oleh teman sebayanya. Ia hanya tahu cacian para pemilik kebun pisang yang pohon pisangnya rusak karena ulahnya.

Ia tegar tak pernah goyah. Selalu bekerja demi cita-citanya yang setinggi langit untuk bersekolah. Hingga suatu ketika, ketika uang jualan daun pisangnya sudah tak cukup lagi untuk melanjutkan sekolah. Suatu saat ketika nenek telah meninggal.

Inilah dinding terakhir yang tidak sanggup lagi diruntuhkan setelah ratusan dinding telah berhasil ia lewati. Ia hanya mampu sekolah sampai tingkat SD, itupun tidak tamat. Sedangkan semua saudara laki-lakinya dapat sekolah hingga SMA, bahkan ada yang melanjutkan belajarnya hingga ke perguruan tinggi. Tak akan ada pekerjaan untuk perempuan ingusan yang dapat menyekolahkannya hingga SMP, SMA apalagi perguruan tinggi.

Bila direnungkan betapa keras usahanya agar dapat menikmati pendidikan dasar saja di waktu itu, membuatku menangis perih. Ia mengorbankan banyak hal demi mendapatkan pendidikan itu. Harus kehilangan teman, kehilangan masa kecil dan menjadi dewasa secara prematur. Sekolah yang sampai saat ini hanya menjadikannya petani karet upahan di kebun orang.

Terkadang ketika musim panen tiba, ibu menawarkan jasa untuk membantu orang memanen padinya. Namun, hal itu terjadi jika ibu benar-benar beruntung, karena kebanyakan orang lebih memilih tenaga pria untuk melakukan pekerjaan berat itu. Sekarang ketika musim panen tiba, ibu berjalan membawa tampi dan karung goni kecil kesana-kemari, membawa harapan anak-anaknya ke tempat orang-orang yang sedang memanen padinya. Bukan untuk mengemis, tapi menunggu orang tersebut mengangini padinya. Setelah padi diangini, akan ada seonggokan kecil gabah ringan yang disebut ampo. Ibu kembali menampi gabah sisa anginan tersebut. Gabah itu berasnya kecil-kecil dan tidak enak ketika dimakan. Aku sering membuang makanan itu ketika ibu mengambilkanya untukku. Perutku terasa mual jika memakan nasi itu. Nasinya kehitam-hitaman dan agak lembek. Tak pernah aku menuruti kata-kata ibu agar senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan yang berkali-kali diucapkannya sebelum dan sesudah makan. Nasi itulah yang kami makan dua bulan mendatang. Syukurnya, nasi itu tidak akan ku nikmati selama itu. Beras itu jarang sekali akan cukup untuk dua bulan. Ibu pun harus meminta pinjaman ke Si perempuan cina, rentenir di kampung. Ia membeli beras yang lebih bagus dengan uang itu.

Satu hal yang aku herankan dengan sikap ibu adalah semangatnya yang begitu besar untuk menyekolahkanku. Dengan kondisinya yang seperti ini, aku pikir sangat mustahil untuknya menyekolahkan kami hingga kuliah semuanya. Bahkan, aku dapat menikmati program master walaupun sebagian biayanya kudapat dari beasiswa. Ibu tidak pernah mengatakan `tidak ada uang` jika uang tersebut kami minta untuk keperluan sekolah, kapan pun hal itu terjadi. Kami hanya tahu hasil jadi bahwa kami pasti akan memperoleh uang itu. Tidak pernah tahu dengan cara apa ibu mendapatkan uang. Apa yang telah ia lakukan, atau apa yang telah ia jual dan gadaikan.

Ternyata cita-cita masa kecilnya diam-diam masih ia tanamkan kuat di hatinya. Kamilah tiga orang anaknya yang menjadi tumpuan cita-citanya. Aku ingat ketika masih SMA, aku diperingatkan oleh wali kelasku di depan kelas karena SPP-ku yang pembayarannya menunggak tiga bulan. Teman-temanku menertawai. Aku benar-benar malu. Pulang sekolah, aku langsung memarahi ibu. Aku memecahkan piring-piring. Memporak-porandakan kain-kain yang telah ia lipat di lemari. Aku baru berhenti saat ia menangis. Aku tidur menyendiri di kamar, mengutuk keadaan kami yang miskin. Aku terbangun di tengah malam dan sadar bahwa ibu tidak ada lagi di rumah. “Apa yang dilakukan ibu di tengah malam seperti ini?” pikirku. Ibu adalah janda muda yang masih cantik. Aku tak ingin tahu, jika seandainya ibu melakukannya. Lagipula, tidak mungkin. Siapapun yang berani menyentuh ibu, ia akan ku bunuh. Paginya, aku menemukan uang tiga-ratus ribu rupiah di kantong seragam sekolahku. Tidak ada kata-kata `terima kasih bu` dariku. Begitu juga ibu, ia tidak mengatakan apapun. Aku berangkat.

Tak akan sanggup lagi kukatakan apa yang dilakukannya untuk kami ketika kami telah kuliah di perguruan tinggi. Bahkan aku tidak mengetahuinya sama sekali. Yang sekarang aku tahu hanyalah, ketika aku telah menyelesaikan kuliah di Amerika dan bekerja di Indonesia, aku pulang ke kampung. Aku sangat merindukan ibu. Di kampung, aku tidak menemukannya. Semua orang memelototi ketika aku sampai di pekarangan rumah. Rumah yang dulu kami tempati, sekarang tidak ada lagi. Kayu-kayunya dibakar, dan lahan itu dijadikan lapangan bola volley.

Lebih dua tahun aku terus mencari ibu kesana-kemari. Menyebarkan informasi di berbagai media. Perasaan berbuat dosa terus menggelayuti pundakku.

Pikiranku membayangkan ketika aku sering malas-malasan belajar, sering bolos kuliah. Di pikiran yang lain tampak ibu sedang menangis menyembah-nyembah meminta pinjaman orang lain.

Ketika ku temukan, ibu tengah bernyanyi bersama orang-orang jompo di sebuah panti. Aku tak melihat lagi sosok ibuku yang dulu. Ibuku yang kuat dan memancarkan keoptimisan. Perempuan itu tampak sangat tua dan lelah. Pandangannya kosong. Gaya bicaranya seperti anak kecil. Aku menangis memeluknya.

“Perempuan ini orang tua bapak? Ia telah menggelandang di kota ini selama tiga tahun.” Ujar seorang perempuan muda pengasuh di panti itu. Aku tidak mendengarkan lagi kata-katanya setelah itu, yang seperti menasehatiku.

Aku bersujud di kaki ibu. Mencium kakinya yang dingin. Mengerang menangisi deritanya. Akan tetapi, aku tak mendapati ekspresi apa-apa di wajahnya. Ia menatap asing, dan seolah-olah menganggapku makhluk dari dunia lain. Sering wajahnya dibuang ke kiri dan kanan. Terkadang ia menjerit memanggil suster pengasuh untuk mengusirku.

Aku memaksa orang-orang di panti untuk membawa ibu pulang. Di rumah, ku perlihatkan photo-photo ketika aku kuliah di Amerika, bersalaman dengan presiden dan bangunan perguruan tinggi yang telah kudirikan. Aku onggokkan di depan ibu buku-buku yang telah ku tulis. Aku memperhatikannya dengan penuh harap. Ia terdiam sangat lama. Tangannya yang dari tadi hanya memegang gagang kursi roda berpindah menutup wajahnya. Ia menghadap ke langit sangat lama. Kemudian, ia menatapku. Matanya merah dan penuh makna kehidupan. Dua telapak tangannya yang basah menyentuh pipiku. Senyum bangga terkembang dari mulutnya walau air mata terus mengalir membasahi pipinya. Air mata sang perwiri.

Tangerang, 8 Juli 2008

Biodata Penulis

Nama Pena : Orie

Nama Lengkap : Hilman Ridha

N0.KTP : 32.08.17.2007.297

TTL : Padang, 22 Desember 1987

Alamat : Komplek kehutanan Wanamulya 13 no 22, RT 04/04, kelurahan karang mulya, karang tengah, tangerang.

HP : 021-93722136

Telepon : 021-7311888


Komentar

Hilman Ridha mengatakan…
saya mau nanya bagaimana kiat-kiat sukses anda..........
selamat atas blog ini..udah lama kami tunggu gebrakan hilman R di dunia Blogger..


Agi Ginanjar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Karl marx

Biografi adam smith